Pages

Sabtu, 30 April 2011

Hans Christian Andersen, Penulis Dongeng Abadi

Hans Christian Andersen adalah salah satu dari sekian banyak pengarang cerita anak-anak yang masih sering dibicarakan hingga hari ini. Berbagai karangannya sudah bisa dinikmati dalam banyak versi, mulai dari film, kartun, maupun drama panggung. Beberapa kisah Andersen yang tidak asing di telinga kita yakni Thumbelina, Putri Duyung, Gadis Penjual Korek Api, hingga Si Itik Buruk Rupa. Bila ditanya siapa pengarang favorit saya waktu kecil, jawabannya mudah: Hans Christian Andersen. Saya membaca dongeng-dongengnya ketika saya baru masuk SD, bahkan bisa dibilang saya mengoleksi semua buku dongengnya yang diterbitkan Gramedia. Sayang, buku-buku itu sudah rusak karena banjir di rumah saya beberapa tahun yang lalu.


Saya begitu menyukai dongeng-dongengnya karena mereka sangat berbeda dari dongeng-dongeng pada umumnya, yang biasanya berkisah tentang tokoh-tokoh cantik, atau yang hidupnya berakhir bahagia. Cerita-cerita yang ditulis Hans Christian Andersen malah sebaliknya, bernuansa gelap, kelam, magis. Kisah Gadis Penjual Korek Api adalah kisah favorit saya hingga kini.


Kisah-kisah kelam yang dituangkan Andersen sedikit banyak diimbaskan dari masa kecilnya yang menyedihkan. Dibesarkan dari keluarga miskin, sejak belia Andersen diharuskan untuk menjadi buruh kasar untuk menambah penghasilan keluarga. Bahkan, dari kecil hingga dewasa, Andersen tidak pernah memiliki rumah - sepanjang hidupnya, ia hidup di rumah para tokoh masyarakat yang kaya raya, atau tinggal di kamar sewaan dengan perabot minim. Sejak dirinya menjadi penulis, banyak pengagum karyanya yang memperbolehkan Andersen tinggal beberapa lama di rumahnya.


Karena bekerja itulah, Andersen tidak mendapat pendidikan yang seharusnya. Dari hasil keberuntungan dia seuatu ketika bertemu dengan Raja Denmark Frederik VI yang tertarik dengan penampilannya dan lalu membiayai dia sekolah bahasa. Dia terlambat beberapa tahun sebelum akhirnya mulai bersekolah, dan ini membuat dirinya rendah diri di antara anak-anak yang jauh lebih muda darinya, belum lagi penyakit disleksia yang dia idap membuatnya jadi korban olok-olok. Menurutnya, kurun waktu sekolah adalah masa-masa paling kelam dan menyakitkan dalam hidupnya. Setelah beberapa tahun, akhirnya Andersen lulus dari sekolah bahasa. Dia lantas melanjutkan studinya di Universitas Kopenhagen, dengan dibiayai oleh seorang pemilik teater bernama Jonas Collin. Di tahun-tahun kuliahnya ini, dia mulai menulis beberapa cerita dan puisi. Andersen juga menulis drama musik anak-anak yang lantas dipentaskan di teater milik Jonas Collin.


Sampai di akhir hidupnya, Andersen tidak pernah menikah. Mirip seperti kisah Putri Duyung yang ditulisnya, dia sempat jatuh cinta pada seorang gadis namun bertepuk sebelah tangan. Dia meninggal tahun 1874 setelah digerogoti berbagai penyakit selama sekian tahun.


Every man’s life is a fairy tale, written by God’s fingers, begitulah kutipan perkataannya yang terkenal hingga saat ini. Dengan menulis, dia bisa menciptakan suatu kehidupan baru, yang dia tulis sedemikian rupa hingga menjadi indah. Dia bisa menuangkan luapan kepahitan dan kesedihannya. Karya-karyanya yang sarat akan kenyataan hidup dan tidak mengumbar "keindahan palsu" mencerminkan ketulusan perasaannya. Dan hal  inilah yang meninggalkan bekas di hati para pembacanya, memberikan makna pada kehidupan banyak orang di dunia. Kisah-kisahnya tak pernah lekang oleh waktu. 

0 comments:

Posting Komentar